-->

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Iklan

Perang Tarif Dagang dan Ketidakefektifan Hubungan Bilateral Antarnegara

Jumat, 25 April 2025 | Jumat, April 25, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-08T10:13:23Z


Perang tarif dagang yang terus mencuat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan fenomena ironis dalam dinamika hubungan internasional. Meski banyak negara telah menjalin hubungan bilateral yang secara teoritis seharusnya mempermudah kerja sama, termasuk dalam hal ekspor-impor, kenyataannya justru sebaliknya: konflik dagang kian tajam dan egoisme nasional semakin menonjol. Ini memperlihatkan bahwa hubungan bilateral yang terjalin selama ini, dalam banyak kasus, belum mampu menjadi alat yang efektif untuk menjaga kestabilan dan keadilan dalam perdagangan global.

Hubungan bilateral seharusnya menjadi wadah diplomatik yang memfasilitasi kesepakatan dan penyelesaian sengketa secara damai dan rasional. Namun ketika negara-negara secara sepihak menaikkan tarif atau menerapkan hambatan non-tarif terhadap produk dari negara mitra, maka ini menunjukkan bahwa komitmen terhadap hasil perundingan bilateral itu rapuh dan mudah diabaikan ketika kepentingan politik atau ekonomi domestik lebih diutamakan.

Perang tarif dagang seperti yang terjadi antara negara-negara besar—Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa, misalnya—menjadi contoh konkret bagaimana kepentingan nasional jangka pendek sering kali menegasikan semangat kerja sama yang selama ini dibangun. Akibatnya, tidak hanya menciptakan ketidakpastian di pasar global, tetapi juga menurunkan kepercayaan terhadap instrumen diplomatik seperti perjanjian bilateral. Negara-negara kecil dan berkembang pun menjadi korban domino dari ketegangan ini, karena terganggunya rantai pasok dan meningkatnya biaya produksi maupun konsumsi.

Ketidakefektifan ini juga memperlihatkan bahwa mekanisme penegakan hukum dan penyelesaian sengketa dalam hubungan bilateral masih lemah. Banyak kesepakatan yang hanya bersifat deklaratif, tanpa sanksi yang jelas jika dilanggar. Ini berbeda dengan sistem multilateral seperti yang diatur oleh WTO, meski organisasi tersebut juga kini menghadapi tantangan serupa dalam menjalankan fungsinya secara maksimal.

Dalam dunia yang semakin terintegrasi, semestinya hubungan bilateral tidak hanya menjadi simbol diplomatik, tetapi benar-benar menjadi alat fungsional yang mampu menciptakan stabilitas dan saling menguntungkan. Untuk itu, perlu ada perbaikan mendasar dalam cara negara-negara membangun dan menjalankan perjanjian bilateral, termasuk transparansi, komitmen jangka panjang, serta mekanisme sanksi dan evaluasi yang jelas.

Di Indonesia, kekisruhan ini juga menunjukkan lemahnya peran Kementerian Perdagangan dalam mengantisipasi dan merespons dinamika global. Ketika perang dagang pecah, seharusnya Menteri Perdagangan menjadi garda terdepan dalam melindungi kepentingan nasional—baik melalui diplomasi, diversifikasi pasar, maupun perlindungan produsen lokal. Namun yang terjadi, seringkali kebijakan yang dikeluarkan justru reaktif, tidak berpijak pada data yang kuat, dan kerap memicu ketidakpastian di kalangan pelaku usaha. Dalam konteks ini, Menteri Perdagangan patut disalahkan karena gagal memberikan arah dan kebijakan yang tegas dalam menjaga kepentingan ekonomi Indonesia di tengah badai perang dagang.

Sudah saatnya dunia, termasuk Indonesia, mengevaluasi ulang efektivitas hubungan bilateral. Perjanjian antarnegara tidak boleh berhenti pada seremoni penandatanganan. Harus ada transparansi, komitmen bersama, dan sistem penegakan yang tegas. Tanpa itu, hubungan bilateral akan terus menjadi alat politik semata, dan bukan solusi perdagangan yang adil dan berkelanjutan.

Iklan

×
Berita Terbaru Update