-->

Notification

×

Iklan

Iklan

**“Kami Hanya Ingin Tempat Tinggal”

Sabtu, 21 Juni 2025 | Sabtu, Juni 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-20T23:22:48Z

 Anak-anak NTT Dilarang Ngekos di Bali, Stigma Rasial Masih Membayangi**

Denpasar — Di tengah gegap gempita pariwisata dan harmoni budaya Pulau Dewata, sekelompok anak muda dari Nusa Tenggara Timur (NTT) diam-diam hidup dalam kekhawatiran. Bukan karena tidak punya uang, bukan karena tak sopan santun — tapi karena mereka dianggap “berbahaya” hanya karena berasal dari Timur Indonesia.

Sebut saja Yoseph, mahasiswa semester empat asal Kupang, yang sejak dua bulan lalu harus berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain di Denpasar.

“Baru saya bilang saya orang NTT, langsung dibilang, ‘maaf, tidak terima anak Timur,’” tutur Yoseph pelan. “Saya sampai numpang tidur di loteng tempat kerjaan.”

Kenyataan Pahit di Balik Kos-Kosan Bali

Unggahan tangkapan layar percakapan WhatsApp antara pemilik kos dan calon penghuni asal NTT sempat viral beberapa waktu lalu. Isinya singkat namun menyakitkan: “Kami tidak terima anak dari NTT.”

Kasus Yoseph bukan satu-satunya. Di sosial media, sejumlah anak muda dari Maumere, Sumba, dan Atambua juga meluapkan keluh kesah serupa: berkali-kali ditolak indekost hanya karena nama atau logat mereka.

“Kami ini kerja keras. Kami tidak cari masalah. Tapi kami sudah distigma dari awal,” ujar Maria, karyawan swalayan di Kuta.

Di Balik Stigma: Dari Konser Dadakan hingga Trauma Sosial

Beberapa pemilik kos mengaku enggan menerima penghuni dari NTT karena pengalaman buruk masa lalu — suara gitar keras malam hari, banyak tamu keluar masuk, hingga konflik kecil di lingkungan.

Namun, apakah satu kesalahan kolektif bisa dibebankan kepada seluruh kelompok?

“Kalau ada anak Jawa bikin keributan, masak kita tolak semua anak Jawa?” tanya Pak Nyoman, pemilik kos yang justru kini membuka kamar khusus untuk mahasiswa Timur.

Pemerintah dan Masyarakat Diminta Tidak Diam

Pemerintah Provinsi Bali telah merespons isu ini. Wakil Gubernur Bali menyatakan tengah menyusun regulasi kos-kosan yang tidak hanya menyangkut izin tinggal, tapi juga mencegah praktik diskriminasi diam-diam.

Di sisi lain, Bupati Badung mengeluarkan himbauan agar semua pemilik kos wajib melapor siapa saja yang tinggal di tempatnya, dengan tujuan keamanan — bukan untuk menyasar satu kelompok etnis tertentu.

Luka yang Tak Terlihat

Diskriminasi bukan sekadar persoalan hukum. Ia adalah luka sosial. Ia membuat banyak anak muda NTT yang datang ke Bali dengan harapan belajar dan bekerja, merasa tidak diterima di negeri sendiri.

“Kami cinta Bali. Kami belajar banyak dari budaya di sini,” ujar Maria, suaranya lirih. “Tapi kadang kami tanya, apa Bali juga mau belajar menerima kami?”

Catatan Redaksi:
Setiap warga Indonesia punya hak yang sama untuk tinggal, belajar, dan bekerja di mana pun di tanah air ini. Bali bukan hanya tempat wisata — ia juga cermin bagaimana kita memperlakukan sesama saudara sebangsa.

×
Berita Terbaru Update