Oleh
Dr.drh.Petrus Malo Bulu,MVSc
Insiden yang terjadi baru-baru ini di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur, menyita perhatian publik. Sebuah video yang memperlihatkan Bupati secara langsung menegur staf sebuah dinas di depan umum menimbulkan polemik. Meskipun maksud dari tindakan itu barangkali dilandasi oleh niat untuk memperbaiki kinerja birokrasi yang dianggap buruk, pendekatan yang digunakan menimbulkan pertanyaan serius tentang tata kelola komunikasi di pemerintahan daerah.
Dalam sistem pemerintahan, komunikasi bukan sekadar alat untuk menyampaikan perintah atau kritik. Ia adalah cermin dari etika kepemimpinan. Di lingkungan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), setiap instruksi, evaluasi, dan koreksi seharusnya melewati jalur formal yang telah diatur secara struktural. Bupati, sebagai pemimpin tertinggi di daerah, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga agar komunikasi dalam pemerintahan berjalan secara profesional, berjenjang, dan menghormati martabat setiap pegawai.
Langkah langsung seorang kepala daerah dalam menegur staf OPD memang bisa dianggap sebagai bentuk kepedulian. Bisa jadi, langkah tersebut didorong oleh akumulasi keluhan masyarakat terhadap buruknya pelayanan atau lemahnya kinerja dinas terkait. Dalam kasus di SBD, hal itu tampaknya menjadi latar belakangnya. Kepala daerah tentu ingin perubahan segera, tanpa harus menunggu proses panjang yang sering kali berbelit. Keinginan untuk “turun tangan langsung” adalah refleksi dari semangat reformasi birokrasi yang seharusnya diapresiasi.
Namun, masalah tidak berhenti pada niat. Cara menyampaikan itulah yang menentukan apakah hasilnya akan membangun atau justru menghancurkan semangat kerja. Ketika komunikasi dilakukan di luar mekanisme formal—misalnya, menegur langsung staf di depan umum tanpa melalui kepala dinas atau sekretaris daerah—maka yang terjadi bukan pembinaan, melainkan pembunuhan karakter. Pegawai yang dimarahi bisa kehilangan motivasi, merasa dipermalukan, dan akhirnya muncul resistensi atau bahkan konflik horizontal di internal dinas.
Birokrasi dibangun dengan struktur hierarkis bukan tanpa alasan. Kepala daerah bisa menyampaikan kritik atau instruksi melalui kepala OPD atau Sekda, yang kemudian secara sistematis melakukan pembinaan kepada staf. Model ini menjaga keseimbangan antara kepemimpinan yang tegas dan penghormatan terhadap tatanan organisasi.
Masyarakat membutuhkan pemimpin yang tegas, tapi juga bijak. Tegas dalam mengambil keputusan, namun tetap menjunjung tinggi etika jabatan. Di tengah sorotan publik terhadap kualitas pelayanan pemerintah, kepala daerah memang dituntut untuk responsif. Tapi responsif bukan berarti reaktif. Responsif berarti cepat tanggap dengan tetap mempertimbangkan prosedur, etika, dan dampak jangka panjang terhadap sistem kerja pemerintahan.
Kita tentu berharap bahwa kasus seperti di Sumba Barat Daya menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi pemimpin di sana, tetapi juga bagi seluruh kepala daerah di Indonesia. Perubahan birokrasi tidak bisa hanya dilakukan dengan cara-cara yang emosional. Ia harus dilandasi dengan visi, sistem, dan komunikasi yang membangun. Jika tidak, niat baik justru bisa memantik kegaduhan yang merusak tatanan yang ada.
Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa etika komunikasi adalah fondasi kepemimpinan publik. Pemimpin yang mampu mengelola komunikasi dengan baik akan memetik hasil berupa birokrasi yang solid, efektif, dan dipercaya rakyat.
Dr.drh.Petrus Malo Bulu,MVSc-Ketua Himpunan Alumni IPB NTT